Gunungkidul terkenal dengan berbagai kuliner "ekstrim". mulai dari walang goreng, hingga ulat jati. untuk yanhg terakhir, saya benar-benar penasaran. kok aneh bener, ulat jati yang hitam-hitam berbulu dan biasa bergelantungan di hutan jati dimakan?
Salah satu warga, Mbah Harmosuwito, menunjukkan ulat jati hasil buruannya

Suatu hari, saya melintasi areal hutan jati di Grogol, Karangmojo Gunungkidul. saat asik menikmati panorama hutan jati, tiba-tiba pandangan tertuju pada sekelompok warga yang tengah asik berjongkok sambil membawa kantong plastik. Karena penasaran, saya langsung menepikan sepeda motor dan menghampiri kerumunan warga itu. Rupanya mereka tengah berburu ulat jati dan kepompongnya yang biasa disebut ungkrung. Begitu bersemangatnya mereka mengumpulkan ungkrung, sampai-sampai seluruh anggota keluarga dikerahkan dengan angkutan mobil pribadi untuk mencari serangga itu. Bahkan mereka rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk berburu serangga yang konon sangat nikmat untuk disantap. 

Adalah Samiyo, warga Ngaliyan, Nglipar yang waktu itu saya temui sedang asik menelusuri tanah mencari ulat dan ungkrung. agak terkejut ketika tahu tempat tinggal Samiyo, sebab jarak dari Nglipar hingga Karangmojo cukup jauh, ditambah medannya yang berliku-liku dan naik-turun. Dia mengaku sudah berhasil mengumpulkan satu tas plastik ukuran besar ulat jati dan ungkrung. Katanya, ungkrung-ungkrung tersebut akan dia konsumsi sendiri bersama keluarganya. “Dimakan sambil minum teh di sore hari nikmatnya luar biasa” katanya. 

 Ungkrung merupakan ulat jati yang sudah berproses menjadi kepompong. Ukurannya sekitar satu hingga dua sentimeter dengan warna coklat kehitaman. Sedangkan ulat jadi berwarna hitam dengan panjang bervariasi antara 2 hingga 3 sentimeter. Serangga ini hanya dapat ditemui ketika awal musim hujan dan hanya dapat ditemui setahun sekali. 


bentuk ungkrung saat sudah matang di goreng (foto diambil setelah pengalaman pertama terjadi)

Maka tak heran ketika saatnya tiba warga berbondong-bondong berburu ulat jati dan ungkrung. Kata Samiyo, satu kilogram ungkrung dan ulat jati bisa dijual dengan harga berkisar antara Rp40.000 – Rp70.000. Meskipun begitu, Samiyo mengaku hasil tangkapannya tidak akan dia jual. "Dimakan sendiri saja masih kurang" katanya. Gara-gara perkataan itu, saya jadi penasaran, seenak apa sih serangga itu sampai-sampai di tiap hutan jati saya menemukan warga tengah berjongkok mencari hewan ini? Walaupun kata Samiyo kalau tidak terbiasa akan mengalami biduran, saya tetap penasaran. 

Akhirnya dimulailah misi mencari warung yang jual ungkrung matang. tapi rupanya upaya ini tidak semudah yang saya bayangkan. sangat jarang warung yang menjual makanan ini. Sebagian besar ungkrung diolah di tingkat rumah tangga dan untuk konsumsi pribadi. Saking kepinginnya, saya pernah sempat mau minta di rumah warga sekitar hutan jati, tapi terlalu sungkan untuk benar-benar minta. 

Upaya mencicipi ulat dan ungkrungpun mulai mendapat titik terang ketika mendadak ada tawaran dari Mas Jono, wartawan koran Sindo cabang Gunungkidul untuk mencoba rasa ungkrung di kediamannya. tanpa menyia-siakan kesempatan, saya langsung meluncur dan menyiapkan batin. Kesan pertama melihat ulat dan ungkrung terhidang terasa aneh. masih terbayang geliat ulat hidup, tapi demi memuaskan rasa penasaran, nekatlah saya masukkan seekor ulat goreng bumbu bawang garam. dan betapa terkejutnya waktu saya menyadari ternyata rasanya enaak! 

penampakan ulat dan ungkrung goreng bumbu bawang

Walaupun di kepala masih geli terbayang si ulat hidup, tapi lidah berkata lain. dan itu jadi momen aneh untuk beberapa saat sampai saya coba makan ungkrung dan ulat goreng dengan nasi dan sambel bawang. Setelah itu, entah bagaimana rasa geli langsung hilang digantikan hawa nafsu untuk nambah serangga yang katanya kaya protein ini. Dan setelah melalui malam tanpa alergi, saya mantab untuk bilang serangga ini direkomendasikan untuk dicicipi (kalau tidak geli. hahahha)