Salah satu keuntungan pekerjaan saya saat ini adalah saya bebas kluyuran, yang penting kluyuran saya beralasan dan target harian beres. Dan inilah yang terjadi saat hari Senin saya mendadak mendapat ajakan menelusuri gua Gilap dari sesepuh ASC, mas Bagus Yulianto. Bermodalkan izin dari kantor dengan syarat bawa oleh-oleh tulisan hasil klayapan di jam kerja, berangkatlah saya menuju TKP di padukuhan Klumpit, desa Kenteng, Kecamatan Ponjong, Gunungkidul.


Padukuhan Klumpit adalah salah satu padukuhan terpencil di Gunungkidul. Awalnya sulit dibayangkan ada tempat seterpencil ini di pulau Jawa, di Jogja lagi, tapi inilah kenyataannya. Untuk menuju Klumpit, pertama-tama harus menelusuri jalan raya Wonosari-Kenteng selama 45 menit naik sepeda motor. Setelah itu, keluar dari jalan aspal dan menelusuri jalan corblok sejauh tiga km melalui medan yang mendaki dan berkelok.

Gua Gilap sebenarnya sudah lama diketahui keberadaannya oleh warga Klumpit. Di tahun 1987 Pemerintah Jepang memberikan bantuan berupa pompa air tenaga surya di gua ini. Sayangnya, setelah 10 tahun pompa canggih itu telah rusak dan tidak ada kelanjutan dan hanya menyisakan sisa bangunan operasional dan tiang-tiang pipa. Walau sudah bertahun-tahun, ternyata warga setempat baru mengetahui potensi besar gua Gilap sebagai lokasi wisata tak lama ini.

Singkat cerita, setelah mempersiapkan perlengkapan penelusuran, mulai dari pakaian terusan, helm, headlamp, pelampung dan sepatu boots karet (Sepatu boots yang saya pakai adalah hasil merayu petugas rumah tangga pemkab Gunungkidul) kami mulai berjalan dari balai padukuhan Klumpit menuju pintu masuk gua.





 Briefing dulu sebelum memulai petualangan

Pintu masuk gua Gilap berbentuk ceruk besar dengan diameter sekitar 50 meter, di pintu masuk ini saja, jajaran stalagtit sudah menggantung memenuhi langit-langit ceruk. Tak ada kendala menuju pintu masuk karena tangga sisa pompa air bantuan Jepang masih ada. Ujian sebenarnya baru dimulai ketika kita mulai menembus kegelapan menuju perut bumi gua Gilap.

 Di pintu masuk gua ornamen khas kawasan karst sudah mulai tampak.
 
Memasuki gua Gilap merupakan tantangan tersendiri. Kondisi jalan yang licin dan berbatu justru membuat perjalanan menjadi semakin seru dan mengasyikkan. Di beberapa titik, kami harus merayap dinding gua dengan bantuan tali pengaman yang telah disiapkan. Tak jarang pula penelusuran dibumbui pendakian singkat. Belum lagi kami harus menghadapi jeratan lumpur yang membuat perjalanan makin berat karena kaki serasa tak mau terangkat. Untung saya sempat pinjam boots, coba kalau pakai sandal jepit, pasti sudah almarhum dalam satu tarikan pertama.

Perjalanan menelusuri aliran sungai bawah tanah yang berarus tenang itu berlangsung selama sekitar 45 menit. Sepanjang perjalanan, beberapa biota gua yang sudah beradaptasi dengan lingkungan gelap menyapa. Ornamen gua juga tampak mulai menghiasi koridor sungai bawah tanah, seperti Gourdam yang berbentuk seperti petak sawah dan flowstone yang menjulur dari atap gua dan berkilau. Saat inilah saya mulai menyesal karena tidak membawa lebih banyak senter untuk memudahkan memotret di dalam gua. Sebab sepanjang perjalanan mata seakan terus dimanjakan oleh ornamen gua yang bervariasi dan berpendar terkena cahaa senter.











Saya menyebut ornamen diatas ornamen "pocong" karena kalau tertimpa cahaya senter di kegelapan bentuknya benar-benar meyakinkan

Ruang utama gua Gilap terasa seperti ensiklopedia ornamen gua. Mulai dari courtain yang berhelai mirip tirai hingga helectite, bentukan stalagtit yang bercabang dapat ditemui di gua ini. Atap gua dari lantai gua, stalagmit dan straw, stalagmit muda yang berbentuk seperti sedotan juga muncul di sela-sela gourdam. Bahkan bila ditelusuri lebih jauh lagi, terdapat gugusan ornamen berbentuk teratai yang terbentuk dari batuan kapur. Sayangnya ornamen langka ini berada di area terlarang yang hanya dapat dikunjungi oleh kalangan ilmuwan dan peneliti gua.





Tanpa terasa, hampir satu jam dihabiskan di ruang utama untuk menikmati seluruh keindahan di gua Gilap. Sebelum waktu terlalu sore, kami memutuskan keluar kembali ke permukaan. Dalam perjalanan pulang, saya tertinggal dari rombongan besar yang masuk bersama-sama karena keasyikan memotret dinding gua. Tetapi saya jadi merenung, apa jadinya kalau fenomena alam unik ini rusak akibat tangan manusia yang tak bertanggungjawab yang tanpa peduli terus menggerus kapur di permukaan bumi.